Sering Dibilang Manja, Gen Z Justru Punya Kesadaran Kerja yang Lebih Sehat


Lintastoday.com - Dunia kerja tengah mengalami perubahan besar seiring masuknya Generasi Z ke pasar tenaga kerja. Mereka hadir membawa nilai, ekspektasi, dan cara pandang baru terhadap karier yang berbeda dari generasi sebelumnya. Jika dulu loyalitas dan kerja keras tanpa batas dianggap sebagai ukuran dedikasi, kini work-life balance menjadi prioritas utama.

Pergeseran Paradigma: Dari Loyalitas ke Kesejahteraan Psikologis

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh di tengah perkembangan teknologi dan arus informasi yang cepat. Mereka lebih sadar akan isu kesehatan mental, keadilan di tempat kerja, serta pentingnya lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi.

Menurut laporan Deloitte (2024), lebih dari 60% karyawan Gen Z menyebut keseimbangan hidup dan pekerjaan sebagai faktor utama dalam memilih pekerjaan — bahkan lebih penting dibandingkan gaji tinggi.

“Kalau pekerjaan membuat saya kehilangan semangat hidup, berarti ada yang salah dengan sistemnya, bukan dengan saya,” ujar Rani (24), seorang desainer grafis lepas yang memilih meninggalkan perusahaan besar demi bekerja secara independen.

Benturan Nilai: Sistem Lama vs Pola Pikir Baru

Ketegangan antara budaya korporat lama dan nilai-nilai baru Gen Z tak terhindarkan. Bagi sebagian manajer senior, loyalitas diukur dari seberapa lama karyawan bertahan di satu tempat. Namun bagi generasi muda, bertahan di lingkungan kerja yang tidak sehat justru dianggap bentuk ketidakseimbangan hidup.

Gen Z tidak menolak kerja keras, tetapi menolak eksploitasi berkedok dedikasi. Mereka menganggap jam kerja yang manusiawi, penghargaan terhadap kreativitas, dan ruang untuk berkembang jauh lebih penting daripada sekadar gaji tetap atau promosi jabatan.

Data dan Fakta: Mengapa Gen Z Sering “Gampang Resign”

Fenomena job hopping atau pindah kerja cepat sering menjadi sorotan negatif. Namun, data menunjukkan alasan di baliknya tidak sesederhana “tidak tahan tekanan”.

58% Gen Z mengaku keluar karena tidak melihat peluang pengembangan karier di tempat kerja sebelumnya.

46% merasa tidak mendapatkan apresiasi atas kontribusi mereka.

39% menyebutkan beban kerja berlebihan dan jam kerja tak fleksibel sebagai penyebab utama.


Artinya, keputusan resign lebih didorong oleh sistem kerja yang tidak adaptif, bukan semata karena karakter pribadi.

Tantangan bagi Perusahaan: Adaptasi atau Ditinggalkan

Perusahaan yang ingin bertahan di era tenaga kerja muda harus berani berbenah. Model kepemimpinan hierarkis dan birokratis kini mulai ditinggalkan, digantikan dengan pendekatan kolaboratif, transparan, dan berbasis kepercayaan.

Program kesejahteraan karyawan, kebijakan fleksibilitas waktu, hingga kesempatan remote work menjadi kebutuhan dasar, bukan lagi bonus.
Studi dari Harvard Business Review menyebutkan bahwa perusahaan yang menerapkan kebijakan fleksibel mengalami peningkatan retensi karyawan muda hingga 34%.

Dengan kata lain, Generasi Z bukan ancaman, melainkan katalis perubahan menuju sistem kerja yang lebih manusiawi.

Kesimpulan: Saatnya Dunia Kerja Berubah

Generasi Z telah membawa napas baru dalam dunia kerja. Mereka bukan generasi yang malas atau manja, melainkan generasi yang menuntut keseimbangan, keadilan, dan makna dalam setiap langkah kariernya.

Alih-alih menghakimi mereka karena cepat berpindah pekerjaan, sudah saatnya perusahaan melihat fenomena ini sebagai sinyal untuk beradaptasi. Karena di masa depan, hanya organisasi yang mampu menghargai manusia sebagai manusia yang akan bertahan.
(Red)
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Translate