Asal Usul Sound Horeg: Antara Budaya, Hiburan, dan Kontroversi di Jawa Timur
Lintastoday.com - Fenomena sound horeg telah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir, terutama di wilayah Jawa Timur. Istilah ini merujuk pada penggunaan perangkat pengeras suara berkapasitas tinggi, biasanya dalam acara hajatan seperti dangdutan, khitanan, hingga perayaan ulang tahun. Meskipun pada awalnya hanya dianggap sebagai bentuk hiburan rakyat, belakangan sound horeg menuai kontroversi dan bahkan dituding mencemari citra budaya daerah.
Pengertian dan Asal Usul Sound Horeg
Secara harfiah, istilah "horeg" merupakan kependekan dari kata "hore" dan "ger", yang mengandung makna kegembiraan yang tiba-tiba atau berlebihan. Dalam konteks hiburan, sound horeg merujuk pada sistem audio yang dirakit secara mandiri dengan kapasitas daya besar dan dentuman bass yang ekstrem. Popularitasnya mulai merebak sejak awal 2010-an, terutama di daerah pedesaan Jawa Timur seperti Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, hingga Banyuwangi.
Awalnya, sound horeg menjadi alternatif hiburan masyarakat berbiaya murah namun meriah. Sistem pengeras suara rakitan ini kerap dipadukan dengan panggung dangdut lokal dan joget bebas. Budaya ini kemudian menyebar lewat platform seperti YouTube dan TikTok, yang menampilkan pertunjukan joget disertai suara bass menggelegar.
Daya Tarik Budaya dan Hiburan Lokal
Bagi sebagian masyarakat, terutama kalangan muda di pedesaan, sound horeg dianggap sebagai simbol ekspresi diri dan kemerdekaan dalam berekspresi. Acara yang digelar dengan sound horeg sering kali menjadi ajang berkumpulnya warga, mempererat interaksi sosial dan solidaritas komunitas. Bahkan, tak jarang diselenggarakan kompetisi antar kelompok pemilik sound system.
Musik yang diputar pun biasanya beragam, dari dangdut koplo, remix tradisional, hingga EDM lokal. Hal ini menunjukkan akulturasi budaya antara tradisi lokal dan budaya populer global.
Kontroversi dan Kritik: Antara Polusi Suara hingga Dekadensi Moral
Meskipun banyak yang melihat sound horeg sebagai bagian dari dinamika budaya rakyat, tidak sedikit pula yang melayangkan kritik keras. Sejumlah akademisi, tokoh agama, dan pejabat pemerintahan daerah menganggap fenomena ini sebagai bentuk "pencemaran budaya" Jawa Timur.
Beberapa kritik utama terhadap sound horeg meliputi:
-
Polusi Suara: Volume suara yang sangat tinggi dianggap mengganggu ketenangan warga sekitar, terutama di malam hari. Tidak sedikit kasus warga lansia atau bayi terganggu karena suara dentuman bass yang berlebihan.
-
Pergaulan Bebas dan Joget Vulgar: Video-video yang beredar menunjukkan aksi joget bebas, bahkan erotis, yang dilakukan remaja perempuan, bahkan masih berseragam sekolah. Hal ini menimbulkan keprihatinan terhadap moral generasi muda.
-
Minimnya Pengawasan dan Perizinan: Banyak acara sound horeg berlangsung tanpa pengawasan pihak berwenang, tanpa izin resmi, dan bahkan dilakukan di jalan umum, mengganggu lalu lintas dan ketertiban umum.
-
Distorsi Budaya: Budayawan menyatakan bahwa budaya horeg menjauh dari nilai-nilai luhur budaya Jawa yang menekankan kesopanan, tata krama, dan harmoni sosial.
Pandangan Pemerintah dan Tokoh Masyarakat
Beberapa pemerintah daerah telah mengambil langkah tegas, seperti membatasi jam operasional sound system, melarang pertunjukan malam tanpa izin, atau bahkan melarang acara dangdutan dengan format horeg. Misalnya, Pemerintah Kabupaten Pasuruan dan Lumajang pernah mengeluarkan imbauan agar hajatan rakyat tidak menggunakan sound system berlebihan yang mengganggu lingkungan sosial.
Ulama dan tokoh agama dari Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah juga menyuarakan keprihatinan terhadap dampak negatif dari budaya sound horeg, terutama ketika beririsan dengan acara keagamaan atau berada di dekat masjid dan pesantren.
Perspektif Sosiologis dan Kultural
Menurut sejumlah pakar antropologi, sound horeg tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-ekonomi masyarakat pedesaan yang mengalami tekanan dan keterbatasan hiburan. Dalam pandangan ini, sound horeg menjadi bentuk katarsis atau pelepasan emosi sosial. Di sisi lain, kurangnya akses pada pendidikan seni dan kebudayaan membuat ekspresi ini tidak diimbangi dengan edukasi nilai.
Namun, banyak pula pengamat yang menyarankan agar pemerintah tidak serta-merta melarang total fenomena ini. Solusi yang ditawarkan meliputi:
-
Pendidikan Budaya: Memberikan pembinaan terhadap komunitas sound system untuk menyajikan hiburan yang tetap mengedepankan nilai moral dan estetika.
-
Pengawasan dan Sertifikasi: Membuat sistem perizinan dan standar kelayakan bagi penyelenggara acara.
-
Revitalisasi Kesenian Tradisional: Menyandingkan sound horeg dengan penampilan seni lokal seperti jathilan, ludruk, dan keroncong, agar terjadi keseimbangan nilai.
Kesimpulan
Fenomena sound horeg adalah cermin dari dinamika budaya masyarakat bawah yang tengah mencari bentuk ekspresi baru di tengah arus globalisasi. Ia bisa menjadi simbol kreativitas dan solidaritas, namun juga bisa berubah menjadi pemicu konflik sosial jika tidak dikelola dengan baik. Maka, pendekatan yang dibutuhkan bukan hanya bersifat represif, melainkan juga edukatif dan partisipatif — agar hiburan rakyat ini tidak menjadi bumerang bagi masa depan budaya Jawa Timur.
(Red)